MAKALAH
USHUL FIQH
Dosen ; AHMAD FARID MAWARDI SUFYAN.
Di Susun Oleh :
R. Ali
Mahdum Dofir (081201301030169)
Nurul Inshiroh (081201301030161)
Imroatus Solehah (081201301030071)
JURUSAN
TARBIYAH PROGRAM STUDY BAHASA INGGRIS
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN
2014/2015
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan pada Allah SWT. Shalawat
dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan
rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna
memenuhi tugas mata kuliah
Ushul Fiqh.
Dalam
penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi.
Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain
berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, dosen, serta teman-teman
sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi bisa teratasi.
Makalah ini disusun agar
pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Ibarah Nash, Isyarah
Nash, Dalalah Nash dan Iqtida’ Nash ”, yang kami sajikan
berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita.
Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang
datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang
lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para
mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan. Saya sadar bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kepada
dosen pembimbing saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya
di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca
sekalian.
Pamekasan,
02 November 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................
Latar Belakang...............................................................................................
Rumusan Masalah..........................................................................................
Tujuan............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................
BAB III PENUTUP................................................................................................
Kesimpulan....................................................................................................
Saran..............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................
|
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
melakukan istinbat hukum dan upaya yang dilakukan oleh para Mujtahid untuk
memahami nash tidak saja memperhatikan apa yang tersurat yaitu bentuk lafal
nash dan susunan kalimatnya, tetapi juga memperhatikan yang tersirat, seperti
isyarat yang terkandung dibalik lafal nash serta begitu pula dengan
dalalahnya.Berkenaan dengan cara penunjukan dalalah lafal nash ini, ternyata
dikalangan ulama ushul fiqh terdapat perbedaan cara atau metode dalam
penunjukan nash yang mereka tempuh.
Menurut ulama
Hanafiah, metode dalam penunjukan nass terbagi menjadi 4 yaitu ibarah nas,
isyarah nash, dalalah nash, dan iqtida’ nash.Dalam
makalah ini akan dijelaskan mengenai istilah-istilah tersebut serta cara
bagaimana penunjukannya.
B. Rumsan Masalah
1.
Apa Pengertian Ibarah Nash, Isyarah Nash, Dalalah Nash dan Iqtida’ Nash
?
2.
Bagaimana perbedaan metode-metode menurut madzhab
Hanafi ?
C. Tujuan
Masalah
1.
Untuk mengetahui Pengertian Ibarah Nash, Isyarah Nash, Dalalah Nash
dan Iqtida’ Nash.
2. Untuk mengetahui perbedaan metode-metode
menurut madzhab Hanafi.
|
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Ibarah Nash, Isyarah Nash, Dalalah Nash dan Iqtida’
Nash
a.
Ibarah Nash
Yang dimaksud dengan Ibârat
al-Nash ialah:
Ibarat nash ialah petunjuk kalimat (lafal) kepada pengertian yang
dikehendaki sesuai dengan apa yang dituturkan langsung oleh kalimat itu
sendiri.[1]
Definisi lain, sebagaimana
diungkapkan oleh Quthub Mustafa Sanu adalah:
Ibarat al-Nash ialah petunjuk lafal yang didasarkan pada susunan
kalimatnya sendiri secara langsung dan ia dapat diketahui dengan mudah dan
jelas yang tercakup di dalamnya.
Dari dua definisi di atas dapat
dipahami bahwa, Ibârat al-Nash itu ialah petunjuk lafal kepada suatu pengertian
atas suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung oleh lafal nash itu
sendiri. Sebagai contoh Firman Allah dalam surat al-Baqarah, ayat 275 berikut
ini.
Dan Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba’
Menurut
Wahbah Zuhaili bahwa ayat ini arti asalnya adalah menjelaskan antara jual beli
dan riba’ itu dua hal yang berbeda atau tidak sama. Kemudian ayat ini diartikan
pula bahwa jual beli itu boleh dan riba’ itu haram.Kedua pengertian ini
dipahami atau diperoleh dari petunjuk susunan lafal yang terdapat dalam ayat.
b.
Isyarah Nash
Yang dimaksud
dengan Isyarat al-Nash ialah ;
Isyarat dan al-nash ialah penunjukkan lafal atas suatu ketentuan hukum
yang tidak disebutkan langsung oleh lafal nash tetapi merupakan kelaziman bagi
arti yang diucapkan diungkapkan untuk itu.[2]
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa isyârat al-nash itu sesungguhnya
adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan untuk arti menurut
asalnya.Tegasnya, isyârat al-nash itu ialah dilâlah lafal yang didasarkan atas
arti yang tersirat, bukan atas dasar yang tersurat. Sebagai contoh dapat
dilihat dalam surat al-Baqarah, ayat 233:
Dan kewajiban
Ayah (suami) memberi nafkah dan pakaian dengan layak kepada isteri …
Secara ibarat Nash pengertian yang dapat ditangkap dari ayat ini adalah
bahwa Ayah (suami) wajib mengayomi isteri-isteri mereka berupa pemberian nafkah
dan pakaian, bahkan tempat tinggal secara layak dan patut (ma’ruf). Menurut
Amir Syarifuddin[3], bahwa ungkapan yang diartikan dengan ayah adalah sebagai
pengganti kata dalam ayat di atas. Akan tetapi mengapa Allah
menggunakan kata dalam ayat ini.Dalam pandangan para Mujtahid
tentu ada maksud yang tidak dapat dipahami oleh orang biasa. Ungkapan adalah terdiri dua unsur kata, yaitu yang arti dasarnya adalah “anak
yang dilahirkan, dan kata yang berarti “untuknya” dan kata itu sendiri dimaksud-kan di sini adalah ayah.
Sehingga “ungkapan” arti asalnya “anak untuk ayah”. Oleh karena
itu, ungkapan lafal mengandung arti lain. Selain dari arti yang
disebutkan, yaitu anak adalah milik ayah dan oleh karenanya anak-anak yang
lahir dinasabkan kepada ayahnya bukan kepada ibunya. Pengertian yang disebut
terakhir ini merupakan “Isyarat” yang dapat ditangkap dibalik susunan lafal
nash.
c.
Dalalah Nash
Dilâlat al-Nash ini disebut juga dengan dilâlat al-dilâlat. Adapun yang
dimaksud dengan dilâlat al-dilâlat adalah
Dilalat Nash ialah petunjuk lafal atas suatu ketetapan hukum yang
disebutkan Nash berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan (maskut ‘anhu),
karena antara kedua yang disebutkan dan yang tidak disebutkan terdapat
pertautan ‘illat, dimana pemahaman atas keduanya dapat dilakukan dengan mudah,
yang cukup dengan analisa kebahasaan dan tidak memerlukan Ijtihad dengan
mengerahkan segala kemampuan daya nalar.[4]
Menurut Romli, Dalalah al-Nash adalah penunjuk lafal nash atau suatu
ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak disebutkan karena
terdapatnya persamaan ‘illat antara keduanya.
Contoh: Untuk maksud ini dapat dilihat dalam surat al-Isra’ ayat 23
berikut ini :
Maka janganlah kamu mengucapkan kata “ah” kepada kedua orang tuamu dan
jangan pula kamu hardik mereka berdua
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kita “tidak boleh” atau “dilarang”
mengucapkan kata-kata “ah” atau “cis” dan menghardik kedua orang tua
(ibu-bapak) yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Hal ini tidak lain
karena perbuatan ini adalah “menyakitkan” perasaan kedua orang tua. Ketentuan
hukum larangan ini juga dapat diberlakukan kepada perbuatan misalnya “memukul”
atau perbuatan-perbuatan yang sejenisnya yang pada dasarnya membawa akibat yang
sama yaitu menyakitkan orang tua baik perasaan maupun fisik. Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa apapun perbuatan atau tindakan yang dilakukan, selain
ucapan “ah” atau hardikan yang dapat menyakiti kedua orang tua adalah dilarang
dan mengakibatkan seseorang berdosa kepada Allah SWT.
d.
Iqtida’ Nash
Dilâlah al-Iqtidhâ’al- nash’ ini disebut juga dilâlat
al-iqtidlâ’.Yang maksud dengan iqtidhâ’al- nash ialah:
Iqtidla’ al-nash ialah penunjukan lafal nash kepada sesuatu yang tidak
disebutkan, yang sebenarnya tergantung kepada yang tidak disebutkan.[5]
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa suatu petunjuk makna lafal nash
baru bisa dipahami secara jelas bila ada penambahan kata untuk memperjelas
maksud yang terkandung dari suatu teks nash. Menurut Romli, Iqtida’ al-Nash
adalah penunjuk lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan dan penunjuk
ini akan dapat dipahami jika yang tidak disebutkan itu harus diberi tambahan
lafal sebagai penjelasannya. Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah
pada surat al-Ma’idah, ayat 3 berikut ini:
Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi
Pengertian ayat ini belum jelas.Oleh karena itu diperlukan penjelasan
dengan menambah unsur kata dari luar teks.Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya
“diharamkan memakan atau memanfaatkan darah dan daging babi.Sebab keharaman
tanpa hubungan dengan perbuatan manusia tidak ada manfaatnya.
2.
Perbedaan Metode-metode menurut Mazhab Hanafi
Dalam pandangan ulama ushul, dari keempat macam cara penunjukkan dilalah
yang telah dikemukakan di atas, maka yang paling kuat adalah dilalah “ibârat
al-nash, kemudian menyusul isyârat al-nash dan setelah itu baru dilâlat
al-nash dan yang terakhir adalah iqtidlâ’ al-nash. Sebagaimana dijelaskan
oleh Zaky al-Din Sya’ban[6]
bila terjadi perlawanan hukum yang didasarkan pada ibârat al-nash dengan suatu
ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan isyârat nash, maka ketentuan hukum
yang ditetapkan berdasarkan ibârat al-nash lebih didahulukan dari pada isyârat
al-nash. Begitu pula jika terjadi pertentangan ketentuan hukum yang ditetapkan
berdasarkan ibârat nash atau isyârat nash dengan dilâlat al-nash, maka lebih
didahulukan salah satu dari keduanya dari pada dilâlat al-nash. Bila terjadi
pertentangan antara dilâlat al-nash dengan iqtidlâ’ al-nash, maka dilâlat
al-nash lebih didahulukan atas iqtidlâ’ al-nash. Sebagai contoh adalah firman
Allah: Surat al-Baqarah ayat 178 berikut ini:
Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan
kepada kamu (melaksanakan qishash dalam pembunuhan
Ayat ini dilihat dari segi ibârat nash menunjukkan wajibnya melaksanakan
qishash bagi pembunuh sengaja. Kemudian Firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat
93 berikut ini:
Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya adalah neraka jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah akan murka dan
melaknatnya serta Allah menyediakan azab yang besar baginya.
Ayat ini dengan cara isyârat menunjukkan batas ketiadaan wajibnya qishash
bagi pembunuh sengaja. Oleh sebab itu, ayat ini berlawanan dengan ayat
sebelumnya yang secara ibârat nash mewajibkan qishash atas pembunuhan sengaja.
Karena itu, ketetapan suatu ketentuan hukum dengan ibârat nash lebih diutamakan
dari isyârat nash, yaitu dalam hal ini wajibnya qishash bagi pembunuhan
sengaja.
|
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dilâlah itu ialah penunjukan suatu lafal nash kepada pengertian yang
dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil
kesimpulan hukum dari suatu dalil nash.Ibârat
al-Nash itu ialah petunjuk lafal kepada suatu pengertian atas suatu ketentuan
hukum yang diungkapkan langsung oleh lafal nash itu sendiri. Isyârat al-nash
adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan untuk arti menurut
asalnya. Dalalah al-Nash adalah penunjuk lafal nash atau suatu ketentuan hukum
juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak disebutkan karena terdapatnya
persamaan ‘illat antara keduanya. Iqtida’ al-Nash adalah penunjuk lafal nash
kepada sesuatu yang tidak disebutkan dan penunjuk ini akan dapat dipahami jika
yang tidak disebutkan itu harus diberi tambahan lafal sebagai penjelasannya.
Dalam pandangan ulama ushul, dari keempat macam cara penunjukkan dilalah
yang telah dikemukakan di atas, maka yang paling kuat adalah dilalah “ibârat al-nash,
kemudian menyusul isyârat al-nash dan setelah itu baru dilâlat
al-nash dan yang terakhir adalah iqtidlâ’ al-nash.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Sya’ban, Zaky al-Din.Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir
: Dar al-Ta’lif Lit-tiba’ah,1965).
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid II,
(Jakarta : PT.Logos Wacana Ilmu, 2001)
Zuhaili,Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami. Juz I,
(Beirut Libanon; Dar al-Fikr, 1986).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar