Rabu, 24 Juni 2015

USHUL FIQH




MAKALAH

USHUL FIQH
                           Dosen ; AHMAD FARID MAWARDI SUFYAN.   

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/5/5d/Logo_STAIN_Pamekasan.jpg 







Di Susun Oleh :
R. Ali Mahdum Dofir              (081201301030169)
Nurul Inshiroh                          (081201301030161)
Imroatus Solehah                     (081201301030071)


JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDY BAHASA INGGRIS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN
2014/2015
 



KATA PENGANTAR

Segala  puji  syukur kami panjatkan pada Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas  makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, dosen, serta teman-teman sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi bisa teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Ibarah Nash, Isyarah Nash, Dalalah Nash dan Iqtida’ Nash , yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca sekalian.
Pamekasan, 02 November  2014
Penyusun


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................
Latar Belakang...............................................................................................
Rumusan Masalah..........................................................................................
Tujuan............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................
A.
 
 Pengertian Ibarah Nash, Isyarah Nash, Dalalah Nash dan Iqtida’ Nash.........
B.
 
Perbedaan  metode-metode menurut madzhab Hanafi ...............................
BAB III PENUTUP................................................................................................
Kesimpulan....................................................................................................
Saran..............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dalam melakukan istinbat hukum dan upaya yang dilakukan oleh para Mujtahid untuk memahami nash tidak saja memperhatikan apa yang tersurat yaitu bentuk lafal nash dan susunan kalimatnya, tetapi juga memperhatikan yang tersirat, seperti isyarat yang terkandung dibalik lafal nash serta begitu pula dengan dalalahnya.Berkenaan dengan cara penunjukan dalalah lafal nash ini, ternyata dikalangan ulama ushul fiqh terdapat perbedaan cara atau metode dalam penunjukan nash yang mereka tempuh.
Menurut ulama Hanafiah, metode dalam penunjukan nass terbagi menjadi 4 yaitu ibarah nas, isyarah nash, dalalah nash, dan iqtida’ nash.Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai istilah-istilah tersebut serta cara bagaimana penunjukannya.

B.   Rumsan Masalah
1.    Apa Pengertian Ibarah Nash, Isyarah Nash, Dalalah Nash dan Iqtida’ Nash ?
2.    Bagaimana perbedaan metode-metode menurut madzhab Hanafi ?
C.  Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui Pengertian Ibarah Nash, Isyarah Nash, Dalalah Nash dan Iqtida’ Nash.
2.      Untuk mengetahui perbedaan metode-metode menurut madzhab Hanafi.



 


 

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Ibarah Nash, Isyarah Nash, Dalalah Nash dan Iqtida’ Nash
a.    Ibarah Nash
Yang dimaksud dengan Ibârat al-Nash ialah:
Ibarat nash ialah petunjuk kalimat (lafal) kepada pengertian yang dikehendaki sesuai dengan apa yang dituturkan langsung oleh kalimat itu sendiri.[1]
Definisi lain, sebagaimana diungkapkan oleh Quthub Mustafa Sanu adalah:
Ibarat al-Nash ialah petunjuk lafal yang didasarkan pada susunan kalimatnya sendiri secara langsung dan ia dapat diketahui dengan mudah dan jelas yang tercakup di dalamnya.
Dari dua definisi di atas dapat dipahami bahwa, Ibârat al-Nash itu ialah petunjuk lafal kepada suatu pengertian atas suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung oleh lafal nash itu sendiri. Sebagai contoh Firman Allah dalam surat al-Baqarah, ayat 275 berikut ini.
Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’
Menurut Wahbah Zuhaili bahwa ayat ini arti asalnya adalah menjelaskan antara jual beli dan riba’ itu dua hal yang berbeda atau tidak sama. Kemudian ayat ini diartikan pula bahwa jual beli itu boleh dan riba’ itu haram.Kedua pengertian ini dipahami atau diperoleh dari petunjuk susunan lafal yang terdapat dalam ayat.
b.    Isyarah Nash
Yang dimaksud dengan Isyarat al-Nash ialah ;
Isyarat dan al-nash ialah penunjukkan lafal atas suatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan langsung oleh lafal nash tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang diucapkan diungkapkan untuk itu.[2]
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa isyârat al-nash itu sesungguhnya adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan untuk arti menurut asalnya.Tegasnya, isyârat al-nash itu ialah dilâlah lafal yang didasarkan atas arti yang tersirat, bukan atas dasar yang tersurat. Sebagai contoh dapat dilihat dalam surat al-Baqarah, ayat 233:
Dan kewajiban Ayah (suami) memberi nafkah dan pakaian dengan layak kepada isteri …
Secara ibarat Nash pengertian yang dapat ditangkap dari ayat ini adalah bahwa Ayah (suami) wajib mengayomi isteri-isteri mereka berupa pemberian nafkah dan pakaian, bahkan tempat tinggal secara layak dan patut (ma’ruf). Menurut Amir Syarifuddin[3], bahwa ungkapan  yang diartikan dengan ayah adalah sebagai pengganti kata  dalam ayat di atas. Akan tetapi mengapa Allah menggunakan kata  dalam ayat ini.Dalam pandangan para Mujtahid tentu ada maksud yang tidak dapat dipahami oleh orang biasa. Ungkapan  adalah terdiri dua unsur kata, yaitu yang arti dasarnya adalah “anak yang dilahirkan, dan kata  yang  berarti “untuknya” dan kata  itu sendiri dimaksud-kan di sini adalah ayah. Sehingga “ungkapan”  arti asalnya “anak untuk ayah”. Oleh karena itu, ungkapan lafal  mengandung arti lain. Selain dari arti yang disebutkan, yaitu anak adalah milik ayah dan oleh karenanya anak-anak yang lahir dinasabkan kepada ayahnya bukan kepada ibunya. Pengertian yang disebut terakhir ini merupakan “Isyarat” yang dapat ditangkap dibalik susunan lafal nash.

c.    Dalalah Nash
Dilâlat al-Nash ini disebut juga dengan dilâlat al-dilâlat. Adapun yang dimaksud dengan dilâlat al-dilâlat adalah
Dilalat Nash ialah petunjuk lafal atas suatu ketetapan hukum yang disebutkan Nash berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan (maskut ‘anhu), karena antara kedua yang disebutkan dan yang tidak disebutkan terdapat pertautan ‘illat, dimana pemahaman atas keduanya dapat dilakukan dengan mudah, yang cukup dengan analisa kebahasaan dan tidak memerlukan Ijtihad dengan mengerahkan segala kemampuan daya nalar.[4]
Menurut Romli, Dalalah al-Nash adalah penunjuk lafal nash atau suatu ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak disebutkan karena terdapatnya persamaan ‘illat antara keduanya.
Contoh: Untuk maksud ini dapat dilihat dalam surat al-Isra’ ayat 23 berikut ini :
Maka janganlah kamu mengucapkan kata “ah” kepada kedua orang tuamu dan jangan pula kamu hardik mereka berdua
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kita “tidak boleh” atau “dilarang” mengucapkan kata-kata “ah” atau “cis” dan menghardik kedua orang tua (ibu-bapak) yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Hal ini tidak lain karena perbuatan ini adalah “menyakitkan” perasaan kedua orang tua. Ketentuan hukum larangan ini juga dapat diberlakukan kepada perbuatan misalnya “memukul” atau perbuatan-perbuatan yang sejenisnya yang pada dasarnya membawa akibat yang sama yaitu menyakitkan orang tua baik perasaan maupun fisik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa apapun perbuatan atau tindakan yang dilakukan, selain ucapan “ah” atau hardikan yang dapat menyakiti kedua orang tua adalah  dilarang dan mengakibatkan seseorang berdosa kepada Allah SWT.
d.   Iqtida’ Nash
Dilâlah al-Iqtidhâ’al- nash’ ini disebut juga dilâlat al-iqtidlâ’.Yang  maksud dengan iqtidhâ’al- nash ialah:
Iqtidla’ al-nash ialah penunjukan lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang sebenarnya tergantung kepada yang tidak disebutkan.[5]
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa suatu petunjuk makna lafal nash baru bisa dipahami secara jelas bila ada penambahan kata untuk memperjelas maksud yang terkandung dari suatu teks nash. Menurut Romli, Iqtida’ al-Nash adalah penunjuk lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan dan penunjuk ini akan dapat dipahami jika yang tidak disebutkan itu harus diberi tambahan lafal sebagai penjelasannya. Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah pada surat al-Ma’idah, ayat 3 berikut ini:
Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi
Pengertian ayat ini belum jelas.Oleh karena itu diperlukan penjelasan dengan menambah unsur kata dari luar teks.Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya “diharamkan memakan atau memanfaatkan darah dan daging babi.Sebab keharaman tanpa hubungan dengan perbuatan manusia tidak ada manfaatnya.
2.      Perbedaan Metode-metode menurut Mazhab Hanafi
Dalam pandangan ulama ushul, dari keempat macam cara penunjukkan dilalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang paling kuat adalah dilalah “ibârat al-nash, kemudian menyusul isyârat al-nash dan setelah itu baru  dilâlat al-nash  dan yang terakhir adalah iqtidlâ’ al-nash. Sebagaimana dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban[6] bila terjadi perlawanan hukum yang didasarkan pada ibârat al-nash dengan suatu ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan isyârat nash, maka ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ibârat al-nash lebih didahulukan dari pada isyârat al-nash. Begitu pula jika terjadi pertentangan ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ibârat nash atau isyârat nash dengan dilâlat al-nash, maka lebih didahulukan salah satu dari keduanya dari pada dilâlat al-nash. Bila terjadi pertentangan antara dilâlat al-nash dengan iqtidlâ’ al-nash, maka dilâlat al-nash lebih didahulukan atas iqtidlâ’ al-nash. Sebagai contoh adalah firman Allah: Surat al-Baqarah ayat 178 berikut ini:
Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kamu (melaksanakan qishash dalam pembunuhan
Ayat ini dilihat dari segi ibârat nash menunjukkan wajibnya melaksanakan qishash bagi pembunuh sengaja. Kemudian Firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 93 berikut ini:
 Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah akan murka dan melaknatnya serta Allah menyediakan azab yang besar baginya.
Ayat ini dengan cara isyârat menunjukkan batas ketiadaan wajibnya qishash bagi pembunuh sengaja. Oleh sebab itu, ayat ini berlawanan dengan ayat sebelumnya yang secara ibârat nash mewajibkan qishash atas pembunuhan sengaja. Karena itu, ketetapan suatu ketentuan hukum dengan ibârat nash lebih diutamakan dari isyârat nash, yaitu dalam hal ini wajibnya qishash bagi pembunuhan sengaja.



9
 
BAB III
KESIMPULAN
A.    Kesimpulan
Dilâlah itu ialah penunjukan suatu lafal nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari suatu dalil nash.Ibârat al-Nash itu ialah petunjuk lafal kepada suatu pengertian atas suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung oleh lafal nash itu sendiri. Isyârat al-nash adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan untuk arti menurut asalnya. Dalalah al-Nash adalah penunjuk lafal nash atau suatu ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak disebutkan karena terdapatnya persamaan ‘illat antara keduanya. Iqtida’ al-Nash adalah penunjuk lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan dan penunjuk ini akan dapat dipahami jika yang tidak disebutkan itu harus diberi tambahan lafal sebagai penjelasannya.
Dalam pandangan ulama ushul, dari keempat macam cara penunjukkan dilalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang paling kuat adalah dilalah “ibârat al-nash, kemudian menyusul isyârat al-nash dan setelah itu baru  dilâlat al-nash  dan yang terakhir adalah iqtidlâ’ al-nash.
B.     Saran



 
DAFTAR PUSTAKA
Sya’ban, Zaky al-Din.Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir : Dar al-Ta’lif Lit-tiba’ah,1965).
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta : PT.Logos Wacana Ilmu, 2001)
Zuhaili,Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami. Juz I, (Beirut Libanon; Dar al-Fikr, 1986).



[1] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami. Juz I, hlm 349.
[2] Zaky al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami,hlm 367-368.
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, hlm 126.
[4] Zaky al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, hlm 363-364.
[5] Ibid., 269.
[6] Ibid., 373.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar