MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
MENGENAI
Konsep Pendidikan Dalam Perspektif Nurcholish Madjid
Dosen Pengampu ; Dr. Siswato. M.Pd
Di
Susun Oleh :
R. Ali Mahdum Davir (18201301030169)
PROGRAM STUDY TADRIS BAHASA INGGRIS JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN
2014
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan pada Allah SWT. Shalawat
dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan
rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna
memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam.
Dalam
penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi.
Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain
berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, dosen, serta teman-teman
sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi bisa teratasi.
Makalah
ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Filsafat Pendidikan Islam”, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan
dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun
oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri
penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Pamekasan. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya meminta
masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang akan datang dan
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca sekalian.
Pamekasan,
29 November 2014
Penyusun
DAFTAR
ISI
SAMPUL
KATA PENGANTAR.....................................................................................
i
DAFTAR ISI...................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
A. Latar Belakang.....................................................................................
1
B. Rumusan Masalah.................................................................................
2
C. Tujuan...................................................................................................
3
BAB II PEMBAHASAN................................................................................
A.
Biografi
Nurcholish Madjid.................................................................
4
B.
Konsep
Pendidikan dalam Perspektif Nurcholish
Madjid.................. 7
C.
Pemikiran
Nurcholish Madjid...............................................................
10
D.
Pembaruan
Nurcholish Madjid.............................................................
14
BAB III PENUTUP.........................................................................................
a.
Kesimpulan...........................................................................................
16
b.
Kritik
dan Saran...................................................................................
17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Gelombang pemikiran Islam
kontemporer yang muncul di dunia Islam membuktikan, bahwa diskursus Islam akan
terus mengalami diaspora yang tak terbendung. Pemikiran ke-Islaman akan selalu
mengikuti gerak sejarah. Munculnya berbagai corak pemikiran Islam dalam mengapresiasi
realitas modern dengan segala pranata sosialnya merupakan anak kandung
sejarah yang terus bergerak melintasi zamannya, baik yang progresif-liberal
maupun yang tradisional-tekstual.
Sejak awal dasawarsa 1970-an,
pembaruan telah menjadi sitilah yang pejoratif, dengan konotasi tertentu dan
membawa kecurigaan dikalangan luas, tidak saja dilingkungan awam, tetapi juga
dikalangan terpelajar. Ada dua sebab yang menimbulkan tanggapan ini. Pertama,
pembaruan Islam
di curigai atau dikaitkan dengan paham sekularisme. Kedua, pembaruan
juga disangka mengandung latar belakang politik tertentu yang mengarah pada
usaha-usaha “memojokkan” peranan umat Islam.
Dalam konteks inilah, kiranya umat Islam harus selalu
berupaya menggali dasar-dasar dalam doktrin Islam (al-Qur’an dan Sunnah)
sebagai landasan memecahkan setiap dilema historis-empiris yang terjadi. Dengan
cara pembaruan, atau lebih konkritnya upaya interpretasi teks-teks kitab suci,
akan menjadikan Islam selalu sesuai selera zaman dan tidak usang tertutupi
perkembangan.
|
Dalam pandangan Cak Nur (Nurcholis Madjid) , yang akan
kita bahas lebih jauh dalam bab selanjutnya, bahwa pembaruan harus dimulai dari
dua hal yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai
tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Dorongan
melakukan pembaruan inilah yang menurut Cak Nur, mengandung konotasi, bahwa kaum
muslim Indonesia sekarang ini telah mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran
dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan kekuatan secara psikologis
perjuangannya.
Cak Nur adalah pemikir Islam yang mempunyai pengaruh
kuat dan luas dalam sejarah intelektualisme Islam Indoneia. Pemikirannya
membawa dampak yang amat luas dalam kehidupan keagamaan Islam, dan lebih dari
itu ia bahkan menjadi rujukan serta kiblat kaum intelektual Muslim Indonesia.
Salah satu bukti betapa kuatnya pengaruh Cak Nur, ia berhasil mengembangkan
wacana intelektual dikalangan masyarakat Islam secara modern, terbuka,
egaliter, dan demokratis.
B.
Rumusan
Masalah
Dari penjelasan latar belakang di
atas kami sudah menyiapkan beberapa rumusan masalah yang nanti dapat kita bahas
dan kita kaji bersama demi mendapatkan suatu jawaban yang bisa di terima oleh
teman mahasiswa semua.
1.
Bagaimana Biografi Nurcholish Madjid ?
2.
Bagaimana Konsep
Pendidikan dalam Perspektif Nurcholish
Madjid ?
3.
Bagaimana Pemikiran Nurcholish Madjid ?
4.
Seperti apa Pembaruan Nurcholish Madjid ?
C.
Tujuan
Adapaun tujuan daripada penulisan makalah ini diantaranya
;
1.
Mendeskripsikan Bigografi Nurcholish
Madjid.
2. Menjelaskan Konsep Pendidikan dalam Perspektif Nurcholish Madjid
3.
Menjelaskan Pemikiran Nurcholish
Madjid.
4.
Menjelaskan Pembaruan Nurcholish
Madjid.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Nurcholish Madjid
Nurcholis madjid adalah salah satu
seorang cendikiawan muslim terkemuka di Indonesia. Pemikirannya menjadi
pusat perbincangan banyak kalagan, baik
di dalam negeri maupun diluar negeri.
Ia dilahirkan di Jombang, Jawa Timur,
pada tanggal 17 Maret 1939. Riwayat pendidikannya, pagia hari ia sekolah
di sekolah rakyat (SR) dan sorenya di Madrasah milik ayahnya. Pada usia 14
tahun, ia nyantri di pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang. Di pesantren ini, ia
memperoleh prestasi-prestasi yang mengagumkan. Tidak selesai di Darul Ulum,
ayahnnya memindahkannya ke Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.[1]
Nurcholish Madjid semula hidup di
tengah lingkungaan keagamaan tradisional yang kental dengan pendekatan
keagamaan yang formalistik yakni di tempat kelahirannya Jombang. Menjelang
dewasa ia meninggalkan kampung halamannya untuk pindah ke Gontor, sebuah balai
pendidikan Islam yang modern yang memiliki motto pendidikan berbudi tinggi, berbadan sehat,
berpeeengetahuan luas dan berpikiran bebas dengan menikmati pergaulan yang
majemuk (plural) baik dalam segi etnis maupun paham keagamaan para santri di
lingkungan pesantren tersebut,[2]
|
Tamat dari Gontor, Nurchoolis
melanjutkan ke IAIN Jakarta, mengambil bidang bahasa Arab di Fakultas Adab.
Predikat mahasiswa terbaik diperolehnya di IAIN.
Ketika masih kuliah di S-1, dua
kali ia dipercaya menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
sebuah organisasi modern Islam
independen di kalangan mahasiswa. Karena pikiran-pikirannya yang dinamis, ia
mandapat sebutan “Natsir Muda”. Julukan ini seolah-olah menyiratkan satu
harapan kalangan islam modernis akan munculnya tokor penerus Mohammad Natsir,
tokoh Masyumi yang pernah dipercaya menjadi Perdana Mentri RI. Namun, sejak ia
menggulirkan gagasan-gagasan pembaharuannya yang kontroversial dalam beberapa kesempatan
ditahun 1970, harapan itu menjadi luntur. Ia tidak lagi dijuluki “Natsir Muda”.[4]
Setelah gelar sarjana diperolehnya,
ia melanjutkan ke Universitas of Chicago, Amerika Serikat. Disana ia berguru
kepada pemikir modern berkebangsaan Pakistan, Fazlur Rahman. Tahun 1984, ia
kembali ke indonesia dengan menyandang gelar doktor bidang filsafa Islam. Tidak
lama kemudian, ia dengan kawan-kawannya mendirikan klub kajian agama
Paramadina, sebuah lembaga pengkajian islam yang membuka forum-forum diskusi
tentang soal-soal keislaman.[5]
Nurcholish Madjid adalah salah
seorang tokoh pembaru yang banyak mengemukakan gagasan pembaruan Islam yang
banyak di tentang oleh kalangan Islam tradisionalis.[6]
Selain sebagai orang yang banyak
berkecimpung di organisasi dan memangku berbagai jabatan, Nurcholish Madjid
juga sebagai seorang penulis yang produktif. Di antara karya tulisnya yang
dapat disebutkan di sini adalah (1) Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1984), Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1987),
Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta, Yayasan Wakaf paramadina, 1992),
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Karya bersama para pakar
Indonesia lainnya), (Jakarta, Yayasan Wakaf paramadina, 1995), Islam Agama
peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta,
Yayasan Wakaf paramadina, 1995), Pintu-pintu menuju Tuhan, (Jakarta Wakaf
Paramadina, 1995), Masyarakat Religius, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina,
1997), Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta, Yayasan Wakaf paramadina, 1997),
Tradisi Islam Peran Dan Fungsinya Dalam Pembangunan Di Indonesia, (Jakarta ,
Yayasan Wakaf Paramadina, 1997), dan Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam
dalam Wacana Sosial politik Kontemporer, (Jakarta, Yayasan Wakaf Pramadina,
1998).[7]
Selain menulis buku, ia juga pernah
menerjemahkan buku Sunah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah
Pembelaan Kaum Suni, karya Mustafa
al-Sibai. Hal lain yang dilakukan Nurcholish Madjid adalah, bahwa ia banyak
mendorong kaum intelektual muda Islam serta memprakarsai penulisan buku-buku Sejarah Filsafat Islam, karya Madjid
Fakhri yang diterjemahkan oleh dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, saudara Mulyadi Kartanegara.
Tidak hanya dalam buku, Nurcholish
Madjid juga menulis berbagai artikel tentang keislaman, politik Islam, moral,
dan sebagainya yang dimuat dalam Harian
Kompas, Pelita, Suara Pembaharuan, Republika, Jurnal Ulumul Qur’an, Panji Masyarakat, Prisma, Amanah dan lain
sebagainya.
B.
Konsep Pendidikan dalam Perspektif Nurcholish Madjid
Gagasan dan pemikiran Nurcholish
Madjid sebagaimana disebutkan di atas adalah bukan hanya mencakup satu bidang
saja, melainkan dalam berbagai bidang, termasuk di dalamnya masalah doktrin,
ilmu pengetahuan dan peradaban. Dari berbagai pemikirannya ini dapat ditelusuri
dan dilacak gagasan dan konsep yang berkaitan dengan pendidikan. Uraian berikut
ini akan mencoba melihat dan menjajagi pemikiran dan gagasan Nurcholish Madjid
dalam bidang pendidikan Islam.[8]
Pertama,
pembaruan pesantren. Sesuai dengan latar
belakang kehidupannya sebagaimana tersebut diatas, yaitu sebagai seorang
cendikiawan yang dibesarkan di lingkungan pesantren, Nurcholish Madjid memiliki
perhatian tentang pembaruan pesantren. Gagasan dan pemikirannya tentang
pesantren ini dapat dilihat dari karyanya yang berjudul Bilik-bilik Pesantren
Sebuah Potret Perjalanan. Dalam bukunya ini Nurcholish Madjid berpendapat bahwa
pesantren berhak, malah lebih baik dan lebih berguna, mempertahankan fungsi
pokoknya semula, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan agama.
Kedua,
kebangkitan gerakan intelektual di kalangan umat islam. Pemikiran Nurcholish
Madjid dalam bidang pendidikan juga terlihat dari upayanya membangkitkan rasa
percaya diri pada umat Islam. Caranya antara lain dengan menunjukkan bahwa umat
Islam pernah tampil sebagai pelopor dalam bidang ilmu pengetahuan, baik agama
maupun umum, serta tampil sebagai adikuasa. Untuk ini Nurcholish Madjid
memperkenalkan pemikiran para tokoh filosof tingkat dunia, seperti al-Kindi,
al-Asy’ari, al—Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibn Taimiyah, Ibnu
Khaldun, al-Afghani, dan Muhammad Abduh.
Ketiga,
pengingkatan pengalaman agama. Menurut Nurcholish Madjid, bahwa sekarang yang
sangat penting untuk diperhatikan adalah masalah bagaimana agar “taat
menjalankan agama”, tidak berhenti dan terbatas hanya pada pelaksanaan
segi-segi formal simbolik, seperti ibadah, ritual, sakramen,. Namun sikap taat
ini harus ditindaklanjuti dengan amal perbuatan atas dasar kesadaran mendalam
dan menyeluruh akan makna dan semangat ajaran agama itu.
Keempat,
perpustakaan masjid. Menurut Nurcholish Madjid, kini semakin terasa adanya
tuntutan agar masjid-masjid dilengkapi dengan perpustakaan, dengan simpanan
buku-buku atau kitab-kitab yang bakal mampu memperkaya perbendaharaan kaum
Muslimin. Dalam hubungan ini, ia menghubungkan dengan kalimat dalam Alquran
yang pertama kali diturunkan, yang isinya perintah membaca. Etos membaca yang
dalam umat Islam begitu besar potensinya harus didorong hingga menjadi
kenyataan. Masjid-masjid diseluruh tanah air dapat merupakan pusat-pusat
kampanye tradisi membaca yang kuat, ditopang oleh etos Islam bahwa “perintah
Allah yang pertama ialah membaca”. Menurutnya, membaca adalah kegiatan manusia
yang paling produktif, sebab dengan membaca orang dapat melakukan penjelajahan
bebas kemana-mana, ke daerah-daerah (ilmu pengetahuan) yang belum dikenal.
Membaca adalah kegiatan memahami apa yang tertulis.
Kelima,
pendidikan agama dalam rumah tangga. Menurut Nurcholish Madjid, bahwa
pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang
anak didik. Pendidikan agama tidak benar jika dibatasi hanya kepada
pengertian-pengertiannya yang konvensional dalam masyarakat. Menurut Nurcholish
Madjid bahwa pendidikan agama akhirnya menuju kepada penyempurnaan berbagai
keluhan budi.
Keenam,
pendidikan akhlak. Sejalan dengan pentingnya pendidikan agama dalam lingkungan
keluarga yang ditekankan pada pengalaman ajaran agama terkait erat dengan
etika, moral dan akhlak. Untuk ini Nurcholish Madjid memiliki komitmen terhadap
tegaknya etika, moral dan akhlak. Dalam berbagai kesempatan dalam tuisannya, ia
banyak menyinggung kehancuran suatu bangsa dari sejak zaman klasik yang
penyebab utamanya adalah kehancuran akhlak.
Ketujuh,
pesan-pesan takwa. Seiring dengan komitmennya pada pendidikan keagamaan yang
bertumpu pada penanaman dan pembiasaan akhlak yang mulia dalam kehidupan
sehari-hari, Nurcholish Madjid banyak mengungkapkan tentang pesan-pesan takwa.
Dengan mengacu pada bagian pertama surat Al-Baqarah, Nurcholish madjid mengatakan
bahwa sifat-sifat utama kaum bertakwa itu adalah (1) beriman kepada yang gaib;
(2) menegakkan sholat; (3) mendermakan sebagian dari harta yang dikaruniakan
Tuhan kepada mereka; (4) beriman kepada kitab suci yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw; (5) beriman kepada kitab suci yang diturunkan sebelum Nabi
Muhammad Saw; dan (6) yakni akan Hari Kemudian (Akhirat).
Tidak ada
gagasan yang berdiri sendiri di atas angin. Setiap gagasan baru lahir, ia
senantiasa mengundang respon bahkan polemic. Demikian pula dalam dinamika
pemikiran keagamaan, hal serupa senantiasa terjadi. Bahkan kemudian tak terhindarkan lahir ketegangan-keteengan dan konflik, yang muncul
mengiringi perkembangan pemikiran itu. Inilah yang terjadi di sekitar
gagasan-gagasan keagamaan Nurcholish Madjid.[9]
C.
Ide Pemikiran
Nurcholish Madjid
Pemikiran Nurcholish Madjid yang sempat menggegerkan
kalangan umat Islam adalah menganjurkan suatu keharusaan sekularisme dalam
Islam. Menurutnya, sekularisme berarti pembebasan manusia dari kungkungan
cultural, pemikiran keagamaan yang membelenggu dan menghalangi manusia untuk
berpikir kritis dalam memahami realitas.[10]
Berikut adalah ide pemikiran Nurcholish Madjid diantaranya :
1.
Sekularasi
Nurcholish Madjid pertama kali melontarkan ide yang disebut sekularasi. Ide
ini dicetuskannya pada waktu memberikan ceramah tahun 70-an. Menurut
Nurccholish, dengan sekularasi tidaklah dimakksudkan penerapan sekularisme dan
mengubah kaum muslimin menjadi kaum sekularis, tetaapi dimaksudkan unntuk
menduniakan nilai-nilai yang sudah
semestinnya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderunngan
untuk mengukhrowikannya.[11]
Menurut Nurcholish, penerapan
sekularisme dengan konsekuensi penghapusan kepercayaan kepada adanya tuhan,
jelas dilarang. Agama Islam, bila diteliti benar-benar, dimulai dengan proses
sekularisasi lebih dahulu. Justru ajaran Tauhid itu merupakan pangkal tolak
proses sekularisasi secara besar-besaran.[12]
Sekularisasi mempunyai hubungan
erat dengan sekularisme, karena berarti pengetrapan sekularisme. Saudara
Nurcholish melukiskan seolah-olah Islam memerintahkan sekularisasi dalam arti
tauhid. Kalau soalnya seperti yang dituturkan Nurcholish, segala sesuatu
menjadi arbitrair atau semau gue. Secara ekstrim boleh saja kata sukeralisasi
tersebut diganti dengan pisang goreng, atau kopi jahe atau es jahe dan
sebagainya dengan tidak ada konsekuensi apa-apa. Kalau saya berkata, yang saya
maksud dengan pisan goreng adalah
manusia yang mengesahkan Tuhan dan
Menganggap benda-benda lain yang tidak
layak dipuja, maka tak seorangpun yang berhak melarang saya berbuat demikian.
Mereka hanya tertawa dalam hati mereka, karena keanehan istilah tersebut.[13]
Sebenarnya, substansi pemikiran
Nurcholis adalah ia ingin menempatkan hal-hal yang sifatnya dunia yang profan pada
tempatnya dan sifatnya keakhiratan atau kaitannya dengan masalah teologis juga
pada tempatnya. Namun, tampaknya ia kesulitan dalam menemukan istilah yang
tepat sehingga menimbulkan reaksi yang bertubi-tubi.
2.
Neomodernisme
Beberapa pengamat pemikiran memasukaan
pemikiran Nurcholish ke dalam aliran neomodernisme Islam. Menurut Fachry Ali,
ada empat pola pemikiran Islam di Indonesia, yaitu modernisme, neomodernisme,
sosialisme-demokrasi, dan universalisme.[14]
Menurut Fachry Ali dan Bahtiar
Efendi, neomodernisme islam adalah pola pemikiran yang mempunyai asumsi dasar
bahwa islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernisme. Bahkan
kalau meungkin Islam akan menjadi lead-ing-isme (ajaran-ajaran yang memimpin)
di masa depan. Tetapi pengejaran untuk mencapai tujuan itu mesti menghilangkan
tradisi keislaman yang telah mapan.[15]
Neomodernisme berusaha
menggabungkan dua faktor penting, modernisme dan tradisionalisme. Paham ini
mengakomodasikan ide-ide modernis yang paling maju sekalipun, serta
tradisionalis sekaligus.[16]
Gerakan
Neomodernisme memperoleh ketenaran secara mengesankan setelah keluarnya
statemen Cak Nur dalam seminar tunggal pada bulan Januari 1970 yang intinya
menengarai tanda-tanda hampir matinya pemikiran kaum pembaru, sehingga perlu
dilakukan pembaruan pemikiran.[17]
3.
Desaklarisasi
Kalau diteliti lebih serius, ide
sekularisasi secara substantif sudah inklud didalamnya semangat ide
desaklarisasi NM. Tapi baiklah karena bagi penulis ada semacam keharusan untuk
membuat sub bab khusus mengenai ide desaklarisasi, penulis akan mencoba
menguraikannya secara ringkas. Karena adanya tuntutan tersebut, maka dalam
menguraikan ide sekularisasinya penulis tidak terlalu jauh membahas masalah
theologis, sebab menurut penulis ide desaklarisasi lebih ditekankan pada masalah
theologis.
Ide desaklarisiasi Nurcholish Madjid
berpangkal pada semangat perkataan “Tawhid” (di Indonesiaan menjadi
tauhid) yang mengandung makna pemebasan, yakni pembebasan dari segala
obyek duniawi, moral maupun material berupa nilai-nilai dan benda-benda.
Jadi sederhananya, menurut Nurcholish
Madjid, Tauhid yang mengajarkan sikap memahaesakan Tuhan
itu memiliki konsekusensi pembebasaan diri dari segela sesuatu yang membelenggu
selain Tuhan.
Perkataan Tauhid dan masalah
percaya kepada Tuhan yang maha Esa menurut Nurcholish
Madjid, masih harus di bicarakan kembali, sebab ada kesan
bahwa ber-Tauhid hanyalah berarti percaya kepada Tuhan. Ternyata jika kita
teliti lebih mendalam dan teliti al-Qur’an, tidaklah sepenuhnya demikian. Masih
ada hal penting yang harus diikuti dari semangat perkataan Tauhid itu, yakni
menghilangkan paham syirik, paham yang menganggap Tuhan memiliki serikat atau
sekutu. Inilah salah satu bentuk semangat Tauhid yang belum sepenuhnya
mendasari konsekuensi logis paham ke-Tuhan-an.
Dalam pandangan Nurcholish Madjid,
problem utama umat manusia ialah politheisme, bukan ateisme, maka program pokok
al-Qur’an ialah membebaskan manusia dari belenggu paham Tuhan banyak itu dengan
mencanangkan dasar kepercayaan yang diungkapkan dalam kalimat “al-nafy wa
al-itsbat” atau “negasi-konformasi” yaitu La ilaha illa Llah yang
oleh Marshall Hodgson disebut sebagai ”rumusan kepercayaan Muslim”. Dengan
negasi itu dimulai proses pembebesan yaitu pembebasan dari belenggu kepercayaan
kepada hal-hal yang palsu. Tetapi demi kesemprunaan kebebesan itu manusia harus
mempunyai kepercayaan kepada sesuatu yang benar. Sebab hidup tanpa kepercayaan
sama sekali adalah sesuatu yang musthail.
Oleh karena itu, manusia pada
umumnya yang telah memiliki kepercayan kepada Tuhan, proses pembebasan itu
tidak lain dengan melakukan pemurnian kepada Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri.
Pertama melepaskan diri dari kepercayaan kepada sesuatu yang palsu, dan kedua
dengan memusatkan kepercayaan hanya kepada yang benar.
4.
Islam dan
Ideologi
Menurut
Nurcholish Madjid, Islam tidak identik dengan ideology. Ideology Islam yang berlangsung
selama ini dalam masyarakatnya telah merelatifasikan Islam sebagai ajaran yang
universal. Ideology, kata Nurcholish Madjid sangat terikat oleh ruang dan
waktu.[18]
Nurcholish
Madjid berargumen tasi bahwa Islam tidak identik dengan ideology. Ideologisasi
Islam yang berlangsung selama ini dalam masyarakat telah merelatifkan Islam
sebagai ajaran universal.
Dari pemikiran
itu terlontarlah suatu ungkapan yang amat terkenal yaitu “Islam, yes! Partai Islam, No!” dari ungkapan itu tampaknya ia berpesan bahwa tidak perlu
bahkan tidak wajib setiap orang masuk partai Islam. Yang paling penting adalah
menjalankan ajaran Islam itu sendiri. Sampai kini pandangan bahwa Islam jangan
dijadikan asas partai masih dipegang kuat oleh Nurcholish Madjid.[19]
D.
Pembaruan
Nurcholish Madjid
Dasar pembaruan Nurcholish Madjid adalah berlandaskan tauhid yang dalam
khazanah pembaruan pemikiran Islam di Indonesia pada masa itu justru dianggap radikal. Namun kini pemiiran
seperti itu tidak terlalu mengejutkan lagi karena kedewasaan intelektual umat
Islam sudah amat baik dibandingkan masa lalu atau tahun 70-an. karenanya
Nurcholish Madjid telah menambahkan khazanah pemikiran dalam Islam.[20]
Nurcholis mengganggap bahwa gagasan
pembaharuannya adalah semacam daya gerak psikologis (psychological strikes
force). Ia berpikkir kalau umat Islam akan memilih kemapanan, resikonya
adalah terjadinnya kejumudan
berkepanjangan, sedangkan apabila memilih pembaharuan, resikonya adalah
intregasi umat dikorbankan.
Sebuah dilema segera dihadapkan
pada umat Islam: apakah akan memilih
menempuh jalan pembaruan dalam dirinya, dengan
merugikan inntegrasi yang selama ini didambakan, atauka akan
mempertahankan dilakukannya usaha-usaha kearah integrasi itu, sekalipun dengan
akibat keharusan ditolerirnya kebekuan pemikiran dan hilangnnya
kekuatan-kekuatan moral yang ampuh?
Tidak bisa dipersatukannya (inkompatibilitas) antara keharusan pembaruan telah
diambil oleh sebagian umat, sebagian yang
lain akan mengadakan reaksi kepadanya. [21]
Pemikiran pembaruan Nurcholis Madjid
mendorong M. Kamal Hasan di Malaysia untuk melakukan penelitian dalam studi
disertasinya. Menurutnya, memang banyak generasi muda muslim yang sama-sama
merasakan pentingnya pembaruan, tetapi perasaan itu pudar, khusus nya setelah
Nurcholis tampil terlalu angkuh mempergunakan istilah-istilah “liberalisasi”,
kebebasan intelektual, dan seterusnya yang mengandung konotasi-konotasi yang
terlalu radikal untuk dimaafkan.[22]
Bisa
dikatakan, munculnya gerakan pembaruan yang berporos pada Cak Nur telah
menandai permulaan fase penyebaran ide pembaruan dalam komunitas umat Islam,
juga penyebaran ide-ide pembaruan dan kecenderungan pemahaman liberal dalam
Islam. Gagasan ini dalam perkembangannya diterima secara luas oleh masyarakat
Indonesia dan mampu mengubah sikap-sikap sosial yang cukup mendasar.[23]
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Nurcholis yang modern, berawal dari pendidikannya di Amerika.
Diintegrasikan dengan pola fikir Islami yang berakhir pada implementasi
nilai-nilai Barat yang ia adopsi dari Robert N. Bellah dan Harvey Cox.
Sementara asal usul gagasan sekularisasi dikerenakan evolusi agama Kristen yang
bertransisi menuju rasionalisasi agama karena konflik konsep tuhan dan hidup
mereka yang tidak jelas. Akhirnya nilai- nilai Islam disampingkan dalam kehidupan
sosial melahirkan sekularisasi, inklusifisme dan pluralisme dalam Islam
yang modern. Padahal penurut para salafi semua itu merupakan bid’ah dalam Islam
yang harus dihapuskan, karena berpaling dari eksistensi Tuhan sebagai pencipta
dan pengatur kehidupan duniawi.
Tapi dalam hal semua ini para pembaru islam menginginkan agar umat islam
bisa berkembang dan maju dalam kondisi zaman yang berubah yakni zaman
modern (era globalisasi) saat ini, maka dari itu perlu adanya rasionalisasi
dalam memahami ajaran-ajaran islam yang sesuai ataupun yang relevan dalam
perkembangan manusia sekarang dalam kata lain perlu adanya pemahaman
kontekstual sesuai dengan perkembangan manusia dan zaman agar dapat mudah
diterima. Tetapi nilai-nilai islam tetap diutamakan dan jangan ditinggalkan.
Dan keinginan membangun kembali khazanah-khazanah keilmuan yang dulu pernah
dicapai oleh para ulama terdahulu.
|
b. Kritik dan Saran
Demikian
yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul
makalah ini.
Penulis
banyak berharap para pembaca yang budiman memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini
dan penulisan makalah di
kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga
makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman
pada umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr. Siswanto, Pendidikan
Islam Kontekstual, Surabaya: Pena
Salsabila, 2013.
Dr. Zubaedi, Islam
dan Benturan Antar Peradaban, Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media Group, 2007.
Fuadie, Drs. Muslih, Dinamika pemikiran Islam Di Indonesia, Surabaya:
Pustaka Firdaus, 2005.
Nafis, Muhamad Wahyuni, Kesaksian Intelektual, Jakarta Selatan: Paramadina, 2005.
Nata, Dr. H. Abuddin, Tokoh-tokoh pembaruan pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005.
Saefuddin, Didin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam,Jakarta:
PT Grasindo, 2003.
Taufik, Akhmad, Sejarah
Pemikiran dan Tokoh Modernisasi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
[1] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam,Jakarta:
PT Grasindo, 2003, hlm. 222.
[2] Drs. Muslih Fuadie, Dinamika pemikiran Islam Di Indonesia, Surabaya:
Pustaka Firdaus, 2005, hlm.28.
[4] Ibid., hlm. 223.
[6] Dr. H. Abuddin Nata, Tokoh-tokoh pembaruan pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005, hlm.332.
[7] Ibid., hlm. 324.
[8] Dr.
H. Abuddin Nata, Tokoh-tokoh pembaruan
pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005, hlm. 326.
[10] Akhmad Taufik, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisasi Islam, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005. hlm. 155.
[17] Dr.
Zubaedi, Islam dan Benturan Antar
Peradaban, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Group, 2007, hlm. 171.
[20] Akhmad
Taufik, Sejarah Pemikiran dan Tokoh
Modernisasi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. Hlm. 155.
[23] Dr.
Zubaedi, Islam dan Benturan Antar
Peradaban, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Group, 2007, hlm. 172.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar