Rabu, 24 Juni 2015

Konsep Pendidikan Dalam Perspektif Nurcholish Madjid






























 
 

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
MENGENAI
Konsep Pendidikan Dalam Perspektif Nurcholish Madjid
Dosen Pengampu ; Dr. Siswato. M.Pd


Di Susun Oleh :
R. Ali Mahdum Davir           (18201301030169)

PROGRAM STUDY TADRIS BAHASA INGGRIS JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN
2014
 
 
 
KATA PENGANTAR

Segala  puji  syukur kami panjatkan pada Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas  makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, dosen, serta teman-teman sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi bisa teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Filsafat Pendidikan Islam, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca sekalian.
Pamekasan, 29 November  2014
Penyusun


DAFTAR ISI
SAMPUL
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
A.    Latar Belakang..................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah................................................................................. 2
C.     Tujuan................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN................................................................................
A.    Biografi Nurcholish Madjid................................................................. 4
B.     Konsep Pendidikan dalam Perspektif  Nurcholish Madjid.................. 7
C.     Pemikiran Nurcholish Madjid............................................................... 10
D.    Pembaruan Nurcholish Madjid............................................................. 14
BAB III PENUTUP.........................................................................................
a.       Kesimpulan........................................................................................... 16
b.      Kritik dan Saran................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

 
 
 
BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Gelombang pemikiran Islam kontemporer yang muncul di dunia Islam membuktikan, bahwa diskursus Islam akan terus mengalami diaspora yang tak terbendung. Pemikiran ke-Islaman akan selalu mengikuti gerak sejarah. Munculnya berbagai corak pemikiran Islam dalam mengapresiasi realitas modern dengan segala pranata sosialnya merupakan anak kandung sejarah yang terus bergerak melintasi zamannya, baik yang progresif-liberal maupun yang tradisional-tekstual.
Sejak awal dasawarsa 1970-an, pembaruan telah menjadi sitilah yang pejoratif, dengan konotasi tertentu dan membawa kecurigaan dikalangan luas, tidak saja dilingkungan awam, tetapi juga dikalangan terpelajar. Ada dua sebab yang menimbulkan tanggapan ini. Pertama, pembaruan Islam di curigai atau dikaitkan dengan paham sekularisme. Kedua, pembaruan juga disangka mengandung latar belakang politik tertentu yang mengarah pada usaha-usaha “memojokkan” peranan umat Islam.
Dalam konteks inilah, kiranya umat Islam harus selalu berupaya menggali dasar-dasar dalam doktrin Islam (al-Qur’an dan Sunnah) sebagai landasan memecahkan setiap dilema historis-empiris yang terjadi. Dengan cara pembaruan, atau lebih konkritnya upaya interpretasi teks-teks kitab suci, akan menjadikan Islam selalu sesuai selera zaman dan tidak usang tertutupi perkembangan.

 
Memperbincangkan gerakan pemaruan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sosok Cak Nur (Nurcholis madjid) karena ia adalah tokoh sekaligus pemain utamanya. Tentunya Cak Nur tak sendiri. Ada banyak tokoh yang seangkatan dengannya yang ikut serta dalam gerakan pembaruan Islam seperti, M. Dawam Rahardjo, Amin Rais, Gus Dur, Jalaluddin Rahmat dan tentunya masih banyak lagi.
Dalam pandangan Cak Nur (Nurcholis Madjid) , yang akan kita bahas lebih jauh dalam bab selanjutnya, bahwa pembaruan harus dimulai dari dua hal yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Dorongan melakukan pembaruan inilah yang menurut Cak Nur, mengandung konotasi, bahwa kaum muslim Indonesia sekarang ini telah mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan kekuatan secara psikologis perjuangannya.
Cak Nur adalah pemikir Islam yang mempunyai pengaruh kuat dan luas dalam sejarah intelektualisme Islam Indoneia. Pemikirannya membawa dampak yang amat luas dalam kehidupan keagamaan Islam, dan lebih dari itu ia bahkan menjadi rujukan serta kiblat kaum intelektual Muslim Indonesia. Salah satu bukti betapa kuatnya pengaruh Cak Nur, ia berhasil mengembangkan wacana intelektual dikalangan masyarakat Islam secara modern, terbuka, egaliter, dan demokratis.

B.            Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang di atas kami sudah menyiapkan beberapa rumusan masalah yang nanti dapat kita bahas dan kita kaji bersama demi mendapatkan suatu jawaban yang bisa di terima oleh teman mahasiswa semua.
1.         Bagaimana Biografi Nurcholish Madjid ?
2.         Bagaimana Konsep Pendidikan dalam Perspektif  Nurcholish Madjid ?
3.         Bagaimana Pemikiran Nurcholish Madjid ?
4.         Seperti apa Pembaruan Nurcholish Madjid ?

C.           Tujuan
Adapaun tujuan daripada penulisan makalah ini diantaranya ;
1.      Mendeskripsikan Bigografi Nurcholish Madjid.
2.      Menjelaskan Konsep Pendidikan dalam Perspektif  Nurcholish Madjid
3.      Menjelaskan Pemikiran Nurcholish Madjid.
4.      Menjelaskan Pembaruan Nurcholish Madjid.


 
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Biografi Nurcholish Madjid
Nurcholis madjid adalah salah satu seorang cendikiawan muslim terkemuka di Indonesia. Pemikirannya menjadi pusat  perbincangan banyak kalagan, baik di dalam negeri   maupun diluar negeri. Ia dilahirkan di Jombang, Jawa Timur,  pada tanggal 17 Maret 1939. Riwayat pendidikannya, pagia hari ia sekolah di sekolah rakyat (SR) dan sorenya di Madrasah milik ayahnya. Pada usia 14 tahun, ia nyantri di pesantren Darul Ulum,  Rejoso, Jombang. Di pesantren ini, ia memperoleh prestasi-prestasi yang mengagumkan. Tidak selesai di Darul Ulum, ayahnnya memindahkannya ke Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.[1]
Nurcholish Madjid semula hidup di tengah lingkungaan keagamaan tradisional yang kental dengan pendekatan keagamaan yang formalistik yakni di tempat kelahirannya Jombang. Menjelang dewasa ia meninggalkan kampung halamannya untuk pindah ke Gontor, sebuah balai pendidikan Islam yang modern yang memiliki motto pendidikan  berbudi tinggi, berbadan sehat, berpeeengetahuan luas dan berpikiran bebas dengan menikmati pergaulan yang majemuk (plural) baik dalam segi etnis maupun paham keagamaan para santri di lingkungan pesantren tersebut,[2]

 
Gontor membicarakan pengaruh bagi perkembangan intelektual Madjid. Padda usia 21 tahun, ia menyelesaikan studinya di gontor, dan untuk beberapa tahun ia mengajar di bekas almamaternya. Jika diukur dengan masa sekarang, pendidikan di Gontor ketika Nurcholis Nyantri di akhir tahun 50-an, dapat  dianggap sebagai pendidikan yang progresif. Jika dilihat dari ukuran saat itu, gaya pendidikan yang dipelopori Gontor sangat revoslusioner. Kurikulumm Gontor menghadirkan perpaduan yang liberal yakni tradisi belajar klasik ddengan gaya modern Barat, yang diwujudkan secara baik dalam sistem pengajaran maupun mata pelajarannya. Para santri yang belajar  di Gontor tidak hanya di proyeksikan mampu mengusai bahasa Arab klasik, tetapi juga bahasa Inggris dengan alasan bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa yang dibutuhkan dalam menguasai ilmu pengetahuan di masa sekarang. Penguasaan disini mencakup kefasihan bicara secara lisan, dimana para santri didorong untuk berkomunikasi antarmereka hanya dengan bahasa Arab atau bahasa Inggris, dan tidak diperbolehkan menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Indonesia.[3]
Tamat dari Gontor, Nurchoolis melanjutkan ke IAIN Jakarta, mengambil bidang bahasa Arab di Fakultas Adab. Predikat mahasiswa terbaik diperolehnya di IAIN.
Ketika masih kuliah di S-1, dua kali ia dipercaya menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebuah  organisasi modern Islam independen di kalangan mahasiswa. Karena pikiran-pikirannya yang dinamis, ia mandapat sebutan “Natsir Muda”. Julukan ini seolah-olah menyiratkan satu harapan kalangan islam modernis akan munculnya tokor penerus Mohammad Natsir, tokoh Masyumi yang pernah dipercaya menjadi Perdana Mentri RI. Namun, sejak ia menggulirkan gagasan-gagasan pembaharuannya yang  kontroversial dalam beberapa kesempatan ditahun 1970, harapan itu menjadi luntur. Ia tidak lagi dijuluki “Natsir Muda”.[4]
Setelah gelar sarjana diperolehnya, ia melanjutkan ke Universitas of Chicago, Amerika Serikat. Disana ia berguru kepada pemikir modern berkebangsaan Pakistan, Fazlur Rahman. Tahun 1984, ia kembali ke indonesia dengan menyandang gelar doktor bidang filsafa Islam. Tidak lama kemudian, ia dengan kawan-kawannya mendirikan klub kajian agama Paramadina, sebuah lembaga pengkajian islam yang membuka forum-forum diskusi tentang soal-soal keislaman.[5]
Nurcholish Madjid adalah salah seorang tokoh pembaru yang banyak mengemukakan gagasan pembaruan Islam yang banyak di tentang oleh kalangan Islam tradisionalis.[6]
Selain sebagai orang yang banyak berkecimpung di organisasi dan memangku berbagai jabatan, Nurcholish Madjid juga sebagai seorang penulis yang produktif. Di antara karya tulisnya yang dapat disebutkan di sini adalah (1) Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1984), Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1987), Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta, Yayasan Wakaf paramadina, 1992), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Karya bersama para pakar Indonesia lainnya), (Jakarta, Yayasan Wakaf paramadina, 1995), Islam Agama peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta, Yayasan Wakaf paramadina, 1995), Pintu-pintu menuju Tuhan, (Jakarta Wakaf Paramadina, 1995), Masyarakat Religius, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1997), Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta, Yayasan Wakaf paramadina, 1997), Tradisi Islam Peran Dan Fungsinya Dalam Pembangunan Di Indonesia, (Jakarta , Yayasan Wakaf Paramadina, 1997), dan Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial politik Kontemporer, (Jakarta, Yayasan Wakaf Pramadina, 1998).[7]
Selain menulis buku, ia juga pernah menerjemahkan buku Sunah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan Kaum Suni, karya Mustafa al-Sibai. Hal lain yang dilakukan Nurcholish Madjid adalah, bahwa ia banyak mendorong kaum intelektual muda Islam serta memprakarsai penulisan buku-buku Sejarah Filsafat Islam, karya Madjid Fakhri yang diterjemahkan oleh dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, saudara Mulyadi Kartanegara.
Tidak hanya dalam buku, Nurcholish Madjid juga menulis berbagai artikel tentang keislaman, politik Islam, moral, dan sebagainya yang dimuat dalam Harian Kompas, Pelita, Suara Pembaharuan, Republika, Jurnal Ulumul Qur’an, Panji Masyarakat, Prisma, Amanah dan lain sebagainya.

B.       Konsep Pendidikan dalam Perspektif  Nurcholish Madjid
Gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid sebagaimana disebutkan di atas adalah bukan hanya mencakup satu bidang saja, melainkan dalam berbagai bidang, termasuk di dalamnya masalah doktrin, ilmu pengetahuan dan peradaban. Dari berbagai pemikirannya ini dapat ditelusuri dan dilacak gagasan dan konsep yang berkaitan dengan pendidikan. Uraian berikut ini akan mencoba melihat dan menjajagi pemikiran dan gagasan Nurcholish Madjid dalam bidang pendidikan Islam.[8]
Pertama, pembaruan pesantren. Sesuai dengan  latar belakang kehidupannya sebagaimana tersebut diatas, yaitu sebagai seorang cendikiawan yang dibesarkan di lingkungan pesantren, Nurcholish Madjid memiliki perhatian tentang pembaruan pesantren. Gagasan dan pemikirannya tentang pesantren ini dapat dilihat dari karyanya yang berjudul Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Dalam bukunya ini Nurcholish Madjid berpendapat bahwa pesantren berhak, malah lebih baik dan lebih berguna, mempertahankan fungsi pokoknya semula, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan agama.
Kedua, kebangkitan gerakan intelektual di kalangan umat islam. Pemikiran Nurcholish Madjid dalam bidang pendidikan juga terlihat dari upayanya membangkitkan rasa percaya diri pada umat Islam. Caranya antara lain dengan menunjukkan bahwa umat Islam pernah tampil sebagai pelopor dalam bidang ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum, serta tampil sebagai adikuasa. Untuk ini Nurcholish Madjid memperkenalkan pemikiran para tokoh filosof tingkat dunia, seperti al-Kindi, al-Asy’ari, al—Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibn Taimiyah, Ibnu Khaldun, al-Afghani, dan Muhammad Abduh.
Ketiga, pengingkatan pengalaman agama. Menurut Nurcholish Madjid, bahwa sekarang yang sangat penting untuk diperhatikan adalah masalah bagaimana agar “taat menjalankan agama”, tidak berhenti dan terbatas hanya pada pelaksanaan segi-segi formal simbolik, seperti ibadah, ritual, sakramen,. Namun sikap taat ini harus ditindaklanjuti dengan amal perbuatan atas dasar kesadaran mendalam dan menyeluruh akan makna dan semangat ajaran agama itu.
Keempat, perpustakaan masjid. Menurut Nurcholish Madjid, kini semakin terasa adanya tuntutan agar masjid-masjid dilengkapi dengan perpustakaan, dengan simpanan buku-buku atau kitab-kitab yang bakal mampu memperkaya perbendaharaan kaum Muslimin. Dalam hubungan ini, ia menghubungkan dengan kalimat dalam Alquran yang pertama kali diturunkan, yang isinya perintah membaca. Etos membaca yang dalam umat Islam begitu besar potensinya harus didorong hingga menjadi kenyataan. Masjid-masjid diseluruh tanah air dapat merupakan pusat-pusat kampanye tradisi membaca yang kuat, ditopang oleh etos Islam bahwa “perintah Allah yang pertama ialah membaca”. Menurutnya, membaca adalah kegiatan manusia yang paling produktif, sebab dengan membaca orang dapat melakukan penjelajahan bebas kemana-mana, ke daerah-daerah (ilmu pengetahuan) yang belum dikenal. Membaca adalah kegiatan memahami apa yang tertulis.
Kelima, pendidikan agama dalam rumah tangga. Menurut Nurcholish Madjid, bahwa pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak didik. Pendidikan agama tidak benar jika dibatasi hanya kepada pengertian-pengertiannya yang konvensional dalam masyarakat. Menurut Nurcholish Madjid bahwa pendidikan agama akhirnya menuju kepada penyempurnaan berbagai keluhan budi.
Keenam, pendidikan akhlak. Sejalan dengan pentingnya pendidikan agama dalam lingkungan keluarga yang ditekankan pada pengalaman ajaran agama terkait erat dengan etika, moral dan akhlak. Untuk ini Nurcholish Madjid memiliki komitmen terhadap tegaknya etika, moral dan akhlak. Dalam berbagai kesempatan dalam tuisannya, ia banyak menyinggung kehancuran suatu bangsa dari sejak zaman klasik yang penyebab utamanya adalah kehancuran akhlak.
Ketujuh, pesan-pesan takwa. Seiring dengan komitmennya pada pendidikan keagamaan yang bertumpu pada penanaman dan pembiasaan akhlak yang mulia dalam kehidupan sehari-hari, Nurcholish Madjid banyak mengungkapkan tentang pesan-pesan takwa. Dengan mengacu pada bagian pertama surat Al-Baqarah, Nurcholish madjid mengatakan bahwa sifat-sifat utama kaum bertakwa itu adalah (1) beriman kepada yang gaib; (2) menegakkan sholat; (3) mendermakan sebagian dari harta yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka; (4) beriman kepada kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw; (5) beriman kepada kitab suci yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad Saw; dan (6) yakni akan Hari Kemudian (Akhirat).
Tidak ada gagasan yang berdiri sendiri di atas angin. Setiap gagasan baru lahir, ia senantiasa mengundang respon bahkan polemic. Demikian pula dalam dinamika pemikiran keagamaan, hal serupa senantiasa terjadi. Bahkan kemudian tak terhindarkan lahir ketegangan-keteengan dan konflik, yang muncul mengiringi perkembangan pemikiran itu. Inilah yang terjadi di sekitar gagasan-gagasan keagamaan Nurcholish Madjid.[9]
C.      Ide Pemikiran Nurcholish Madjid
Pemikiran Nurcholish Madjid yang sempat menggegerkan kalangan umat Islam adalah menganjurkan suatu keharusaan sekularisme dalam Islam. Menurutnya, sekularisme berarti pembebasan manusia dari kungkungan cultural, pemikiran keagamaan yang membelenggu dan menghalangi manusia untuk berpikir kritis dalam memahami realitas.[10]
Berikut adalah ide pemikiran Nurcholish Madjid diantaranya :
1.             Sekularasi
Nurcholish Madjid pertama kali  melontarkan ide yang disebut sekularasi. Ide ini dicetuskannya pada waktu memberikan ceramah tahun 70-an. Menurut Nurccholish, dengan sekularasi tidaklah dimakksudkan penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin menjadi kaum sekularis, tetaapi dimaksudkan unntuk menduniakan nilai-nilai yang  sudah semestinnya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderunngan untuk mengukhrowikannya.[11]
Menurut Nurcholish, penerapan sekularisme dengan konsekuensi penghapusan kepercayaan kepada adanya tuhan, jelas dilarang. Agama Islam, bila diteliti benar-benar, dimulai dengan proses sekularisasi lebih dahulu. Justru ajaran Tauhid itu merupakan pangkal tolak proses sekularisasi secara besar-besaran.[12]
Sekularisasi mempunyai hubungan erat dengan sekularisme, karena berarti pengetrapan sekularisme. Saudara Nurcholish melukiskan seolah-olah Islam memerintahkan sekularisasi dalam arti tauhid. Kalau soalnya seperti yang dituturkan Nurcholish, segala sesuatu menjadi arbitrair atau semau gue. Secara ekstrim boleh saja kata sukeralisasi tersebut diganti dengan pisang goreng, atau kopi jahe atau es jahe dan sebagainya dengan tidak ada konsekuensi apa-apa. Kalau saya berkata, yang saya maksud dengan  pisan goreng adalah manusia yang mengesahkan Tuhan  dan Menganggap benda-benda lain yang  tidak layak dipuja, maka tak seorangpun yang berhak melarang saya berbuat demikian. Mereka hanya tertawa dalam hati mereka, karena keanehan istilah tersebut.[13]
Sebenarnya, substansi pemikiran Nurcholis adalah ia ingin menempatkan hal-hal yang sifatnya dunia yang profan pada tempatnya dan sifatnya keakhiratan atau kaitannya dengan masalah teologis juga pada tempatnya. Namun, tampaknya ia kesulitan dalam menemukan istilah yang tepat sehingga menimbulkan reaksi yang bertubi-tubi.
2.             Neomodernisme
Beberapa pengamat pemikiran memasukaan pemikiran Nurcholish ke dalam aliran neomodernisme Islam. Menurut Fachry Ali, ada empat pola pemikiran Islam di Indonesia, yaitu modernisme, neomodernisme, sosialisme-demokrasi, dan universalisme.[14]
Menurut Fachry Ali dan Bahtiar Efendi, neomodernisme islam adalah pola pemikiran yang mempunyai asumsi dasar bahwa islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernisme. Bahkan kalau meungkin Islam akan menjadi lead-ing-isme (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan. Tetapi pengejaran untuk mencapai tujuan itu mesti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan.[15]
Neomodernisme berusaha menggabungkan dua faktor penting, modernisme dan tradisionalisme. Paham ini mengakomodasikan ide-ide modernis yang paling maju sekalipun, serta tradisionalis sekaligus.[16]
Gerakan Neomodernisme memperoleh ketenaran secara mengesankan setelah keluarnya statemen Cak Nur dalam seminar tunggal pada bulan Januari 1970 yang intinya menengarai tanda-tanda hampir matinya pemikiran kaum pembaru, sehingga perlu dilakukan pembaruan pemikiran.[17]
3.             Desaklarisasi
Kalau diteliti lebih serius, ide sekularisasi secara substantif sudah inklud didalamnya semangat ide desaklarisasi NM. Tapi baiklah karena bagi penulis ada semacam keharusan untuk membuat sub bab khusus mengenai ide desaklarisasi, penulis akan mencoba menguraikannya secara ringkas. Karena adanya tuntutan tersebut, maka dalam menguraikan ide sekularisasinya penulis tidak terlalu jauh membahas masalah theologis, sebab menurut penulis ide desaklarisasi lebih ditekankan pada masalah theologis.
Ide desaklarisiasi Nurcholish Madjid berpangkal pada semangat perkataan “Tawhid” (di Indonesiaan menjadi tauhid) yang mengandung makna pemebasan, yakni pembebasan dari segala obyek  duniawi, moral maupun material berupa nilai-nilai dan benda-benda. Jadi sederhananya, menurut Nurcholish Madjid, Tauhid yang mengajarkan sikap memahaesakan Tuhan itu memiliki konsekusensi pembebasaan diri dari segela sesuatu yang membelenggu selain Tuhan.
Perkataan Tauhid dan masalah percaya kepada Tuhan yang maha Esa menurut Nurcholish Madjid, masih harus di bicarakan kembali, sebab ada kesan bahwa ber-Tauhid hanyalah berarti percaya kepada Tuhan. Ternyata jika kita teliti lebih mendalam dan teliti al-Qur’an, tidaklah sepenuhnya demikian. Masih ada hal penting yang harus diikuti dari semangat perkataan Tauhid itu, yakni menghilangkan paham syirik, paham yang menganggap Tuhan memiliki serikat atau sekutu. Inilah salah satu bentuk semangat Tauhid yang belum sepenuhnya mendasari konsekuensi logis paham ke-Tuhan-an.
Dalam pandangan Nurcholish Madjid, problem utama umat manusia ialah politheisme, bukan ateisme, maka program pokok al-Qur’an ialah membebaskan manusia dari belenggu paham Tuhan banyak itu dengan mencanangkan dasar kepercayaan yang diungkapkan dalam kalimat “al-nafy wa al-itsbat” atau “negasi-konformasi” yaitu La ilaha illa Llah yang oleh Marshall Hodgson disebut sebagai ”rumusan kepercayaan Muslim”. Dengan negasi itu dimulai proses pembebesan yaitu pembebasan dari belenggu kepercayaan kepada hal-hal yang palsu. Tetapi demi kesemprunaan kebebesan itu manusia harus mempunyai kepercayaan kepada sesuatu yang benar. Sebab hidup tanpa kepercayaan sama sekali adalah sesuatu yang musthail.
Oleh karena itu, manusia pada umumnya yang telah memiliki kepercayan kepada Tuhan, proses pembebasan itu tidak lain dengan melakukan pemurnian kepada Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Pertama melepaskan diri dari kepercayaan kepada sesuatu yang palsu, dan kedua dengan memusatkan kepercayaan hanya kepada yang benar.
4.             Islam dan Ideologi
Menurut Nurcholish Madjid, Islam tidak identik dengan ideology. Ideology Islam yang berlangsung selama ini dalam masyarakatnya telah merelatifasikan Islam sebagai ajaran yang universal. Ideology, kata Nurcholish Madjid sangat terikat oleh ruang dan waktu.[18]
Nurcholish Madjid berargumen tasi bahwa Islam tidak identik dengan ideology. Ideologisasi Islam yang berlangsung selama ini dalam masyarakat telah merelatifkan Islam sebagai ajaran universal.
Dari pemikiran itu terlontarlah suatu ungkapan yang amat terkenal yaitu “Islam, yes! Partai Islam, No!” dari ungkapan itu tampaknya ia berpesan bahwa tidak perlu bahkan tidak wajib setiap orang masuk partai Islam. Yang paling penting adalah menjalankan ajaran Islam itu sendiri. Sampai kini pandangan bahwa Islam jangan dijadikan asas partai masih dipegang kuat oleh Nurcholish Madjid.[19]

D.      Pembaruan Nurcholish Madjid
Dasar pembaruan Nurcholish Madjid adalah berlandaskan tauhid yang dalam khazanah pembaruan pemikiran Islam di Indonesia pada masa itu  justru dianggap radikal. Namun kini pemiiran seperti itu tidak terlalu mengejutkan lagi karena kedewasaan intelektual umat Islam sudah amat baik dibandingkan masa lalu atau tahun 70-an. karenanya Nurcholish Madjid telah menambahkan khazanah pemikiran dalam Islam.[20]
Nurcholis mengganggap bahwa gagasan pembaharuannya adalah semacam daya gerak psikologis (psychological strikes force). Ia berpikkir kalau umat Islam akan memilih kemapanan, resikonya adalah  terjadinnya kejumudan berkepanjangan, sedangkan apabila memilih pembaharuan, resikonya adalah intregasi umat dikorbankan.
Sebuah dilema segera dihadapkan pada umat  Islam: apakah akan memilih menempuh jalan pembaruan dalam dirinya, dengan  merugikan inntegrasi yang selama ini didambakan, atauka akan mempertahankan dilakukannya usaha-usaha kearah integrasi itu, sekalipun dengan akibat keharusan ditolerirnya kebekuan pemikiran dan hilangnnya kekuatan-kekuatan moral yang  ampuh? Tidak bisa dipersatukannya (inkompatibilitas) antara keharusan pembaruan telah diambil oleh sebagian umat, sebagian yang  lain akan mengadakan reaksi kepadanya. [21]
Pemikiran pembaruan Nurcholis Madjid mendorong M. Kamal Hasan di Malaysia untuk melakukan penelitian dalam studi disertasinya. Menurutnya, memang banyak generasi muda muslim yang sama-sama merasakan pentingnya pembaruan, tetapi perasaan itu pudar, khusus nya setelah Nurcholis tampil terlalu angkuh mempergunakan istilah-istilah “liberalisasi”, kebebasan intelektual, dan seterusnya yang mengandung konotasi-konotasi yang terlalu radikal untuk dimaafkan.[22]
Bisa dikatakan, munculnya gerakan pembaruan yang berporos pada Cak Nur telah menandai permulaan fase penyebaran ide pembaruan dalam komunitas umat Islam, juga penyebaran ide-ide pembaruan dan kecenderungan pemahaman liberal dalam Islam. Gagasan ini dalam perkembangannya diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia dan mampu mengubah sikap-sikap sosial yang cukup mendasar.[23]

BAB III
PENUTUP
a.      Kesimpulan
Nurcholis yang modern, berawal dari pendidikannya di Amerika. Diintegrasikan dengan pola fikir Islami yang berakhir pada implementasi nilai-nilai Barat yang ia adopsi dari Robert N. Bellah dan Harvey Cox. Sementara asal usul gagasan sekularisasi dikerenakan evolusi agama Kristen yang bertransisi menuju rasionalisasi agama karena konflik konsep tuhan dan hidup mereka yang tidak jelas. Akhirnya nilai- nilai Islam disampingkan dalam kehidupan sosial  melahirkan sekularisasi, inklusifisme dan pluralisme dalam Islam yang modern. Padahal penurut para salafi semua itu merupakan bid’ah dalam Islam yang harus dihapuskan, karena berpaling dari eksistensi Tuhan sebagai pencipta dan pengatur kehidupan duniawi.
Tapi dalam hal semua ini para pembaru islam menginginkan agar umat islam bisa berkembang dan maju dalam kondisi zaman yang berubah yakni  zaman modern (era globalisasi) saat ini, maka dari itu perlu adanya rasionalisasi dalam memahami ajaran-ajaran islam yang sesuai ataupun yang relevan dalam perkembangan manusia sekarang dalam kata lain perlu adanya pemahaman kontekstual sesuai dengan perkembangan manusia dan zaman agar dapat mudah diterima. Tetapi nilai-nilai islam tetap diutamakan dan jangan ditinggalkan. Dan keinginan membangun kembali khazanah-khazanah keilmuan yang dulu pernah dicapai oleh para ulama terdahulu.

 
Semua pemikiran tokoh pembaruan islam khususnya dalam makalah ini pemikiran Nurcholis Madjid menujukkan agar umat islam bisa lebih maju dan bisa menerima hal yang rasional untuk menghadapi perkembangan manusia dan zaman pada saat ini, tapi yang perlu kita garis bawahi apa yang telah dituangkan oleh para tokoh pembaru islam atau gagasan-gagasan yang telah mereka buat harus bisa kita filter dan kritisi tidak semata-semata harus kita telaah semua atau kita sepakati semua apa pendapat mereka, dalam kata lain  kita harus bisa mengambil hal yang baik,(secara rasionalis dan agamis), ataupun sesuai dengan nilai-nilai islam, seperti halnya semangat mereka dalam perubahan menuju yang lebih baik. Dan mengembalikan peran manusia dibumi  sebagai kholifa fil ardi, dan mengambil kembali  Keilmuan-keilmuan yang telah diukir oleh ulama-ulama terdahulu, karena sesungguhnya ilmu pengetahuan itu yang membuat zaman ini berkembang.

b.      Kritik dan Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.



DAFTAR PUSTAKA
Dr. Siswanto, Pendidikan Islam Kontekstual, Surabaya:  Pena Salsabila, 2013.
Dr. Zubaedi, Islam dan Benturan Antar Peradaban, Jogjakarta:  Ar-Ruzz Media Group, 2007.
Fuadie, Drs. Muslih, Dinamika pemikiran Islam Di Indonesia, Surabaya: Pustaka Firdaus, 2005.
Nafis, Muhamad Wahyuni, Kesaksian Intelektual, Jakarta Selatan: Paramadina, 2005.
Nata, Dr. H. Abuddin, Tokoh-tokoh pembaruan pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005.
Saefuddin, Didin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam,Jakarta: PT Grasindo, 2003.
Taufik, Akhmad, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisasi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.



[1] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam,Jakarta: PT Grasindo, 2003, hlm. 222.
[2] Drs. Muslih Fuadie, Dinamika pemikiran Islam Di Indonesia, Surabaya: Pustaka Firdaus, 2005, hlm.28.
[3] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam,Jakarta: PT Grasindo, 2003, hlm. 223.
[4] Ibid., hlm. 223.
[5]  Muhamad Wahyuni Nafis, Kesaksian Intelektual, Jakarta Selatan: Paramadina, 2005, hlm. 184
[6] Dr. H. Abuddin Nata, Tokoh-tokoh pembaruan pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005, hlm.332.
[7] Ibid., hlm. 324.
[8] Dr. H. Abuddin Nata, Tokoh-tokoh pembaruan pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005, hlm. 326.
[9]  Dr. Siswanto, Pendidikan Islam Kontekstual, Surabaya:  Pena Salsabila, 2013, hlm. 151.
[10]  Akhmad Taufik, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisasi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. hlm. 155.
[11] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam,Jakarta: PT Grasindo, 2003, hlm. 225.
[12] Muhamad Wahyuni Nafis, Kesaksian Intelektual, Jakarta Selatan: Paramadina, 2005, hlm. 184.
[13] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam,Jakarta: PT Grasindo, 2003, hlm. 225.
[14]  Ibid., hlm. 227.
[15] Ibid., hlm. 227.
[16] Ibid., hlm. 228.
[17] Dr. Zubaedi, Islam dan Benturan Antar Peradaban, Jogjakarta:  Ar-Ruzz Media Group, 2007, hlm. 171.
[18] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam,Jakarta: PT Grasindo, 2003, hlm. 228.
[19] Ibid., hlm. 230.
[20] Akhmad Taufik, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisasi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. Hlm. 155.
[21] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam,Jakarta: PT Grasindo, 2003, hlm. 224.
[22] Ibid., hlm. 224.
[23] Dr. Zubaedi, Islam dan Benturan Antar Peradaban, Jogjakarta:  Ar-Ruzz Media Group, 2007, hlm. 172.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar